Menyikapi Pembatal Puasa Kontemporer
Segala puji bagi Allah Rab semesta alam. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du
Puasa adalah salah satu rukun islam, dan salah satu syiar agung yang Allah wajibkan bagi umat Islam sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah serta ijma (kesepakatan) para ulama.
Wajib bagi setiap mukmin maupun mukminah untuk memahami hukum-hukum seputar puasa supaya mendapat ridha Allah Ta’ala. Karena sesunggunya Allah tidak menerima suatu amal kecuali amal shalih, dan tidak termasuk amal shalih melainkan apabila dikerjakan dengan penuh keikhlasan karena Allah semata dan sesuai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan cara mengkaji kitab-kitab para ulama klasik maupun kontemporer yang membahas tentang berbagai permasalahan seputar puasa, hukum yang berkaitan dengannya, sunnah-sunnahnya serta hal-hal yang dianjurkan selama berpuasa. Barangsiapa yang mau mengkaji semua itu maka ia akan memahami hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Apabila mendapat kesulitan dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut hendaklah bertanya pada ahli ilmu sebagaimana perintah Allah dalam al-Qur’an “Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikri(ulama)apabila kamu tidak memahami.”
Puasa tegak atas dua rukun, yakni yang pertama adalah niat; dan yang ke dua adalah menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkannya. Seorang muslim hendaknya mengetahui apa saja yang termasuk pembatal puasa sehingga ia dapat menahan diri darinya. Allah Ta’ala telah menjelaskan kaidah pembatal puasa dalam firmanNya: “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Q.S. al-Baqarah : 187). Kriteria pembatal puasa adalah apa-apa yang Allah perintahkan untuk menahan diri darinya pada saat berpuasa. Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an seperti jima’ (bersenggama), makan, dan minum, dan yang disebutkan dalam sunnah yang mulia seperti haid dan nifas, muntah dengan disengaja sebagaimana disepakati paraulama. Dengan demikian ada lima pembatal puasa seperti yang telah disebutkan.
Selain lima hal di atas terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang batal tidaknya puasa seseorang. Adapun sebab perbedaannya kembali pada dalil,atau perbedaan pendapat tentang shahihnya, atau dalam memahami dalil tersebut, atau kecocokan indikasi hukum yang sesuai dengan peristiwa terkini dan masalah kontemporer.
Pembaca referensi fikih dan penjelasan buku hadisbanyak mendapati permasalahan yang banyak. Perbedaan pendapat di kalangan ulama seperti hijamah (bekam), memasukkan obatmelalui hidung, serta memakai celak dan yang sejenisnya. Seiring perkembangan teknologi yang turut andil mengubah gaya hidup manusia juga ditemukan hal-hal yang masuk kategori pembatal puasa meski terjadi perbedaan diantara ulama kontemporer yang sebagian besar berhubungan dengan dunia pengobatan dan kedokteran seperti sprayer (alat semprot) untuk pengobatan dada, serta berbagai jenis pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosa dan operasi, suntikan dengan berbagai jenisnya, obat tetes mata, hidung dan telinga, tranfusi darah, berbagai jenis pencucian ginjal, serta anestesi (bius) dan lain-lain.
Perlu disebutkan di sini bahwa setiap masalah yang ada terdapat banyak pendapat, dalil-dalil, diskusi, penelitian dari para ahli fiqih dan ilmuwan serta panitia dewan syariat guna memperjelas hukum apakah hal tersebut termasuk pembatal puasa ataukah tidak, yang pada akhirnya melahirkan putusan hukum.
Dan yang perlu diperhatikan dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama tentang pembatal puasa yang bersifat kontemporer adalah tidaklah sesuatu itu dihukumi sebagai pembatal atau tidak kecuali berdasarkan dalil. Ini adalah kaidah yang telah disepakati para ahli ilmu sebagaimana yang telah Allah dan RasulNya jelaskan dalam masalah pembatal puasa. Oleh karenanya tidak boleh melampaui Al-Qur’an dan sunnah. Apabila seorang muslim mampu mencapai pada pengambilan hukum atas masalah-msalah kontemporer, maka wajib baginya untuk bersungguh-sungguh dalam ijtihadnya. Namun jika dirinya tidak mampu karena tidak memiliki keahlian dalam hal itu, maka wajib baginya untuk kembali kepada para ulamasebagaimana yang telah Allah perintahkan : “maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Apabila ditemukan perbedaan pendapat tentang apakah sesuatu itu termasuk pembatal puasa atau tidak, maka jika memungkinkan untuk mengambil pendapat yang paling rajih (kuat) maka itulah yang utama, namun jika tidak maka hendaknya ia mengambil pendapat orang yang paling alim diantara mereka. Dan jika mereka memiliki tingkat keilmuan yang sama, maka pendapat mayoritas ulama lebih dekat pada kebenaran. Wallahu a’lam
مفطرات الصيام المعاصرة