Segala puji hanya milik Allah, aku bershalawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau.
Amma ba’du
Pertanyaan ini merupakan satu permasalahan yang sangat penting, dan pembahasan masalah takdir pada dasarnya pembahasan yang sangat besar, tidak mungkin dijawab dengan jawaban singkat.
Namun, hal pertama yang harus diperhatikan, saya nasehatkan kepada saudaraku untuk tidak terlalu banyak membebani pikirannya seputar masalah takdir; karena takdir merupakan rahasia Allah yag tersirat dalam penciptaan makhluknya, tidak Dia singkap untuk malaikat terdekat-Nya ataupun Nabi yang diutus, takdir termasuk permasalahan yang kaifiatnya sulit dipahami oleh akal, sebagaimana sifat-sifat Allah telah Dia kabarkan; namun kita yakin, bahwa takdir Allah masuk dalam firman Allah Ta’ala:
﴿ليس كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾ (الشورى:11)
Artinya: ”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11).
Kita beriman dengan keimanan yang mantap dan yakin bahwa Allah Ta’ala tidak menzalimi manusia sedikit pun,
﴿وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ﴾ (فصلت:46)
Artinya: ”Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS. Fushshilat: 46).
Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Dzar, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً)).
Artinya: ”Allah berfirman: Wahai hamba-Ku, aku haramkan kezhaliman atas diri-Ku, dan aku haramkan kezhaliman di antara kalian.”
Maka sudah seyogyanya seorang mukmin untuk meyakini dalam hatinya, bahwa Rabbnya adalah Hakim yang Adil, tidak ada sedikit pun kezhaliman dalam takdir-Nya, tidak pula ada kezhaliman dalam hukum-hukum syariat-Nya.
Kemudian setelah itu, jika terdapat sesuatu yang mengganjal dalam jiwa, atau permasalahan seputar takdir, maka hendaknya dia bertanya. Terdapat riwayat dari Abdullah bin Fairuz Ad-Dailami berkata: "Aku bertemu Ubay bin Ka’ab, dan aku katakan kepada beliau: Wahai Abul-Munzir, sungguh telah mengganjal dalam jiwaku sesuatu tentang masalah takdir, maka beritahukan kepadaku sesuatu, semoga apa yang ada di hatiku lenyap." Beliau berkata: ”Jikalau Allah siksa seluruh penghuni langit dan bumi, niscaya Dia menyiksa mereka dengan tanpa kezhaliman, dan jika Allah memberi mereka rahmat, niscaya rahmat-Nya itu lebih baik dari amalan mereka, dan jika engkau bersedekah emas seberat gunung Uhud di jalan Allah Azza wa Jalla, Dia tidak akan menerimanya darimu, hingga engkau beriman dengan takdir, dan engkau beriman bahwa apa yang sudah ditetapkan untuk menimpamu tidak mungkin dapat kau hindari, dan apa yang terhindar darimu tidak akan menimpamu. Jika kau meninggalkan dunia dengan bukan keyakinan ini, niscaya engkau masuk neraka.”
Kemudian aku temui Hudzaifah, dan beliau sama mengatakan demikian, dan aku temui Ibnu Mas’ud, dan beliau pun mengatakan demikian, dan aku temui Zaid bin Tsabit, dan beliaupun meriwayatkan hadits dari Rasulullah bahwa Beliau menyatakan pula demikian, diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
Takdir memiliki kandungan keimanan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya, dan Dia tulis semuanya sebelum menciptakannya, kemudian Dia berkehendak dan menciptakannya, ini adalah empat tingkatan yang wajib diimani, sehingga seorang muslim dapat merealisasikan keimanannya dalam masalah takdir.
Setelah ini kita kembali pada pertanyaan, yaitu apakah diperkenankan berargumen dengan takdir ketika melakukan kemaksiatan?
Tidak diragukan lagi, bahwa argumen ini tidak dapat diterima secara syariat dan akal sehat, sebagai buktinya adalah, jika seseorang mendatangimu dan merampas sebagian hartamu, atau menzhalimimu dengan cara memukulmu, kemudian setelah selesai dia berkata: Maafkan aku, ini sudah menjadi suratan takdir untukku; apakah engkau akan terima argumennya? Ataukah engkau berpendapat bahwa argumen dia akan melipat gandakan hukuman baginya, karena dia berargumen tidak pada tempatnya?!
Demikian pula halnya dengan hak Allah Ta’ala, karena hak Allah Ta’ala wajib untuk dijaga, dan tidak diperkenankan berargumen dengan takdir atas keburukan dan kejahatan, hal ini merupakan permasalahan ijma’ yang disepakati seluruh ulama Islam.
Hanya saja, boleh berargumen dengan takdir dalam musibah, ketika terjadi musibah, maka saat itu Anda katakan: “Qadarullahu wama sya’a fa’ala” (terj, Allah telah metakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki akan terlaksana).
Saya nasehati saudaraku dan saya ingatkan untuk menghindari pembahasan seputar masalah ini, karena jika Anda ikuti terus, niscaya tidak akan ada habisnya. Dan yang wajib kita imani adalah apa yang kita kehendaki tidak keluar dari kehendak Allah Ta’ala, karena kehendak Allah lebih tinggi dan tidak bisa dikalahkan,
﴿وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاء اللَّهُ﴾
Artinya: ”Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. Al-Insan :30, dan At-Takwir: 29).
Kami meminta kepada Allah 'Azza wa Jalla agar memberikan kepada kami dan Anda rezeki berupa keselamatan akidah dan amalan.
Saudaramu,
Prof. Dr. Khalid bin Abdullah Al-Mushlih
5/3/1430 H