Apakah hukumnya wanita haid membaca Al Quran dengan maksud meminta fatwa? Apa hukum mengkhususkan membaca Surat Al Baqarah setiap hari dengan maksud meminta kesembuhan?
قراءة الحائض للقرآن بنية الاستشفاء
Apakah hukumnya wanita haid membaca Al Quran dengan maksud meminta fatwa? Apa hukum mengkhususkan membaca Surat Al Baqarah setiap hari dengan maksud meminta kesembuhan?
قراءة الحائض للقرآن بنية الاستشفاء
Menjawab
Segala puji bagi Allah. Salawat, salam dan keberkahan Allah semoga selalu tersampaikan kepada Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya.
Amma ba’du.
Dengan taufik dari Allah Ta’ala, maka jawaban atas pertanyaan saudara adalah :
Ada dua pendapat para ulama terkait hukum wanita haid membaca Al Quran :
1- Pendapat pertama dari sebagian ulama, bahwa wanita haid tidak diperbolehkan membaca Al Quran baik langsung (dari mushaf) ataupun dengan hafalan. Dalil merka adalah hadis riwayat Ahmad dan Ashabus Sunan dari Abdullah bin Umar –radiyallahu ‘anhuma- bahwasanya Nabi –salallahu ‘alaihi wa salam- bersabda :
“Tidaklah wanita haid dan orang yang junub membaca Al Quran”
Hadis ini digunakan argumen dalam pelarangan wanita haid membaca Al Quran, tetapi hadis tersebut adalah hadis lemah dalam sanadnya. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata : (sepakat ulama tentang kelemahan hadis ini). Dengan demikian, jika hadis tersebut lemah berdasarkan kesepakatan ahli hadis maka tidak bisa ditetapkan hukum dengannya. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam mengambil hadis ini sebagai hujjah. Sebagian besar ulama dalam Madzhab-madzhab fikih mengambil hadis ini.
2- Pendapat yang kedua dari Imam Malik, dan riwayat dari Abu Hanifah, dan pendapat yang dipilih Imam Bukhari, dan pendapat Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama. Mereka berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Quran tanpa menyentuh mushaf. Artinya ia membaca dengan hafalannya, ataupun dari smartphone, karena perangkat ini tidak masuk di dalamnya hukum Al Quran. Ia membaca dengan melihat. Ataupun dengan memakai penghalang ketika membaca dengan mushaf seperti sarung tangan atau yang semisalnya, maka boleh. Tetapi ia tidak boleh menyentuhnya. Ini sesuai dengan hadis Abu Bakar bin Hazm dalam hadis tentang surat yang ia tulis untuk keluarganya, bahwasanya Nabi salallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
«لا يمس القرآن إلا طاهر»
“Tidaklah boleh menyentuh Al Quran kecuali dalam keadaan bersuci”
Hadis ini walaupun dalam sanadnya ada komentar (dari para ahli hadis) sebagaimana yang disampaikan Ibnu Abdil Barr, tetapi umat telah sepakat menerima hadis ini dan menerima hukum yang ada di dalamnya. Ini menunjukkan tidaklah boleh menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan bersuci. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan ini adalah pendapat Madzhab yang para Imam yang empat. Sedangkan Imam Dawud Adzahiri berpendapat tidak ada yang menghalangi untuk menyentuh mushaf. Dan ini adalah pendapt kedua dalam permasalahan ini (menyentuh mushaf bagi wanita haid). Mereka berargumen dengan lemahnya hadis. Akan tetapi perkataan Ibnu Abdil Barr tentang menerimanya umat Islam hadis tersebut sudah mencukupkan dari melihat kembali kepada kesahihan sanad hadisnya sebagiamana yang beliau nyatakan.
Maka pendapat yang kuat dari dua pendapat di atas adalah : Hendaknya seorang muslim menghindari menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan bersuci. Kecuali jika adak keperluan, ataupun ada hal yang mendesak maka baginya ada hukum khusus. Dan sepantasnya ia tidak menyentuh langsung, tapi mengambil dari pinggir-pinggirnya bukan pada tempat tertulisnya Al Quran.
Adapun hukumyang terkait dengan surat Al Baqarah, membacanya adalah keberkahan. Hal ini sesuai sabda Nabi salallhu ‘alaihi wa salam dari hadis Abu Umamah yang diriwayatkan oleh Muslim :
«اقرءوا الزهراوين: البقرة وآل عمران، فإنهما يأتيان كالغيايتين أو السحابتين أو الفرقين الصواف تظلان صاحبهما يوم القيامة»
“Bacalah dua bunga : Al Baqarah dan Ali Imran. Karena keduanya akan datang (di hari kiamat) seperti dua awan yang tebal yang akan menaungi orang yang membacanya (di dunia) pada hari kiamat”
Dalam riwayat yang lain :
«اقرءوا البقرة، فإن أخذها بركة وتركها حسرة، ولا تستطيعها البطلة»
“Bacalah surat Al Baqarah, karena membacanya adalah keberkahan, meninggalkannya adalah penyesalan, dan tidak akan mampu para penyihir”
Nabi menyebutkan bahwasanya membacanya adalah keberkahan, meninggalkannya adalah penyesalan bagi orang yang meninggalkannya, baik meningglkannya membacanya atau meninggalkan komitmen amalan hukum yang ada di dalamnya. Dan sabda Nabi : «ولا تستطيعها البطلة». Al batholah artinya adalah para penyihir, dan ini karena terkandung di dalamnya ayat-ayat yang bisa menghilangkan sihir.
Adapun seseorang membacanya setiap hari, maka terserah baginya. Tetapi tidak ada sunah di dalam amalan tersebut. Ada perbedaan ketika kita sampaikan ini adalah sunah dan disyariatkan dengan pernyataan kita ini boleh. Atau kita kata nyatakan “ini bid’ah”
Bid’ahadalah mengadakan sesuatu yang baru dalam perkara agama yang tidak memilki asal. Adapun sunah adalah segala amalan yang bersumber langsung dari Nabi salallahu ‘laihi wa salam baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan.
Sedangkan yang dibolehkan adalah semua perbuatan yang ditunjukkan kebolehannya oleh dalil umum dan tidak ada dalil secara khusus.
Contoh dari yang dibolehkan lafadz talbiyah yang diucapkan para sahabatnya, dan beliau mendengar tanpa mengingkari perbuatan mereka. Di antara mereka ada yang mengucapkan :
لبيك وسعديك والخير في يديك والرغباء إليك والعمل، لبيك حقاً حقاً تعبداً ورقاً
“Aku datang memnuhi panggilanMu dengan senang hati, semua kebaikan di tanganMu, segala harapan dan amalan hanyalah untukMu, aku memenuhi panggilanMu dengan penuh kebenaran penghambaan dan kelembutan”
Dan Nabi salallahu ‘alahi wa salam mendengarnya, dan ini termasuk dzikir yang be;um pernah Nabi mengucapkannya, bahkan Nabi tidak pernah menambah lafadz talbiyah yang beliau ucapkan :
: «لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك»
“Aku datang memenuhi panggilanMu, Aku datang memenuhi panggilanMutidak sekutu bagiMu, akudatangmemenuhipanggilanMu. Sesungguhnyasegala puji, nikmat dan segenap kekuasaan adalahmilikMu, tidak ada sekutu bagimuMu.”
Dan dalam riwayat Nasaiy :
: «لبيك إله الحق»
“Aku datang memenuhi panggilanMu Ilah yang Haq”
Dan Nabi pernah mendengar lafadz talbiyah yang lain, dan beliau tidak mengingkarinya. Dan ini menunjukan dibolehkannya. Dan (talbiyah dari sahabat) ini tidak dikatakan sebagai sunah. Karena Nabi belum pernah mengucapkannya dan tidak ada riwayat kalau beliau menetapkannya talbiyah tersebut sesuai yang diucapkan sahabat ataupun dinyatakan : (talbiyah ini ditetapkan Nabi –salallahu ‘alaihi wa salam- maka ia bisa menjadi sunah taqririyah.
Saudaramu,
Prof. Dr. Khalid Al Mosleh