الحمد لله وصلى الله وسلم وبارك على رسول الله، وعلى آله وصحبه.
أما بعد.
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam serta keberkahan atas Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya.
Puasa bertujuan mewujudkan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla, dan inilah tujuan dari puasa. Allah berfirman :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
“wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
Sebagian orang berkata : apa yang dimaksud dengan ketakwaan? Takwa adalah memaksimalkan diri dalam ketaatan dan meninggalkan maksiat dengan penuh harap atas balasan Allah dan khawatir akan adzabNya.
Ini merupakan definisi takwa secara sederhana, orang yang bertakwa adalah orang yang mengerjakan ketaatan dan menjauhi yang diharamkan, dimana dia melakukan itu semua karena rasa takut dan penuh harap. Bukan karena kebiasaan atau karena malu. Melakukan kewajiban bukan karena adat atau karena dilakukan banyak orang, akan tetapi karena ikhlas untuk Allah semata. Ini merupakan makna umum yang Allah inginkan melalui puasa. Dengan demikian sudah sepantasnya seorang yang berpuasa mengetahui hikmah disyariatkannya puasa untuk dirinya dan pengaruhnya dalam akhlak dan perbuatannya sehingga menjadi orang berhasil meraih sebesar-besar pahala.
Orang-orang yang berpuasa -menahan diri dari makan dan minum- sangatlah banyak, tetapi balasan antara satu orang dengan yang lain berbeda sebagaimana bedanya langit dan bumi. Hal tersebut terjadi karena apa yang terlintas dalam hati mereka dari keikhlasan dan kebenaran iman. Apa yang teraplikasikan dari hati berupa amal perbuatan. Apa yang ada dalam hati tercermin dalam perbuatan nyata dari kebenaran dalam beramal dan jauhnya dirinya dari kejelakan.
Dalam shahih Bukhari dan Muslim Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi (Puasa adalah pelindung)
Makna dari pelindung adalah apa yang menghalangi manusia dari kejahatan dan kerusakan. Ini memberikan faidah bahwa puasa memberikan imunitas, sebagaimana seseorang yang masuk dalam benteng pertahanan yang melindunginya dari kerusakan dan kejelekan serta buruknya akhlak.
Untuk itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
(( فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يصخب ولا يجهل، فإن امرؤ سابه أوشاتمه فليقل: إني امرؤ صائم))
“maka jika hari ketika kamu berpusa tidak berkata kotor, kasar, dan tidak berbuat kebodohan. Maka jika ada orang yang menghinanya atau menjelek-jelakannya, maka balaslah dengan mengatakan :”saya sedang berpuasa”
Yaitu dia tertahan untuk membalas keburukan yang sama karena sedang berpuasa. Ini menjelaskan bahwa puasa adalah akhlak dalam hati yang diterjemahkan dalam amal perbuatan. Ia akan menahan diri untuk berbuat jahat kepada orang lain walaupun (ketika dia membalas) ini termasuk dalam keadilan terhadap diri sendiri.
Allah berfirman (dalam hal keadilan terhadap diri sendiri) :
{وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ}
“Maka jika kalian menghukum, hukumlah mereka sesuai dengan apa yang mereka lakukan kepada kalian”
Allah juga berfirman :
{وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا}
“dan balasan kejelekan adalah kejelekan yang setimpal”
Pun demikian, seorang yang berpuasa diperintahkan untuk meninggalkan itu semua dengan mengatakan : “saya sedang berpuasa”, Ia tahan lisannya dari membalas ocehan orang yang bodoh. Menahan perbuatan yang menjatuhkan kepada keburukan.
Sudah sepatutnya puasa kita adalah gambaran keimanan dan kebenaran keyakinan akan balasan dari Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Kitab Sahihain dari hadis Abu Hurairah bersabda :
«من صامرمضان إيماناً واحتساباً؛ غفر له ما تقدم من ذنبه»
“Barangsiapa berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang lampau”.
Dan ini adalah yang saya isyaratkan sebelumnya tentang tingkat perbedaan balasan kebaikan manusia dilihat dari kesungguhan hati dalam membenarkan dan kejelasan. Untuk itulah sudah menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan diri kita yakni selalu introspeksi diri dalam memerikasa dua hal ini “keimanan dan berharap pahala”
Keimanan terwujud dengan pengakuan diri. Jika seseorang mengakui kewajiban puasa maka ia telah beriman dengan syariatnya. Rasa ihtisab (mengharap pahala) adalah dengan menginginkan di masa yang akan datang balasan yang besar di sisi Rabb semesta alam. Sesungguhnya balasan akhir dari puasa adalah sangat besar. Balasan itu masuk dalam kandungan Firman Allah Jalla wa ‘Ala :
{إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
“Sesungguhnya balasan orang yang bersabar adalah balasan yang tidak ada batasnya”
Cukuplah kiranya hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
«كل عمل ابن آدم له، إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به »
(Allah berfirman) “Setiap amalan Bani Adam adalah untuknya, kecuali puasa, maka ia adalah untukKu dan Aku sendiri yang akan membalasnya”
Diantara yang perlu diperhatikan orang yang berpuasa, adalah beberapa nasehat yang disampaikan para salaf : (Sudah sepantasnya hari di mana kamu berpuasa berbeda dari hari engkau tidak berpuasa. Perbedaan ini bukan terlihat dari kemalasan, kelemahan dan lambatnya melakukan pekerjaan, ataupun terlambat dari kewajiban dan keburukan akhlak. Dan itulah keadaan kebanyakan orang yang memperturutkan hawa nafsunya. Dan menjadikan puasa sebagai kesempatan melakuakan kebiasaan yang negatif. Ia berargumen bahwa ia berpuasa. Dan puasanya telah membuat lelah dan capek. Maka ini adalah sebuah kekeliruan).
Seharusnya puasa menjadikan manusia berakhlak mulia, lebih bersemangat mengerjakan semua kewajiban, menunaikan hak. Ia meyakini ketaatan kepada Allah di masa puasa akan mendapat pahala yang lebih besar daripada di hari biasa. Walaupun puasa memang mengurangi kekuatan seseorang, tetapi orang yang berpuasa tetap melaksanakan ketaatan kepada Allah dan ini adalah sebab turunnya pahala. Sebagaimana dalam hadis shahih dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :
«أجرُكِ على قدر نفقتكِ ونصبكِ»
“pahalamu adalah sesuai kadar harta yang engkau infakan dan kelelahanmu”
artinya : sesuai dengan kadar apa yang engkau keluarkan dari hartamu dan kadar kesungguhan dalam mengeluarkan tenaga berupa kesungguhan dan kelelahan yang dicurahkan untuk mencapai ketaatan kepada Allah Jalla wa ‘Ala.
Maka inilah beberapa hal penting yang sudah sepatutnya tidak hilang dari hari-hari seorang yang berpuasa. Dan kesimpulannya : seyogyanya hari puasa berbeda dengan hari biasa. Bukan menurun, justru bertambah, berkembang, lebih baik, bertakwa dan beriman.
Dan semoga shalawat Allah dan salamNya serta keberkahan selalu tersampaikan kepada baginda Nabi kita Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya dan para sahabatnya.
Prof. Dr. Khalid Al Mosleh
(يوم صومك مختلف عن يوم فطرك)