×
العربية english francais русский Deutsch فارسى اندونيسي اردو

Permintaan Formulir Fatwa

Captcha yang salah

Fatwa / مناسك الحج والعمرة / Hukum Menjahit Sarung

Views:2994
- Aa +

Apa hukum menjahit sarung ketika berihram dengan bentuk yang dinamakan (tanurah) yaitu : sarung dijahit di semua sisinya. Dan sebagian orang menambahkan kantong untuk menyimpan hartanya dan handphone yang dimilikinya dan sebagainya. Apakah ada dalil yang membolehkannnya ?

حكم خياطة الإزار

Menjawab

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam serta keberkahan semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya.

Amma ba’du.

Hukum asal yang melarang orang yang berihram memakai pakaian adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadis Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang laki-laki berkata : Wahai Rasulullah, pakaian apa yang boleh dipakai orang yang melakukan ihram ? Maka bersabda rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam :

لا يلبس القمص و لا العمائم و لا السراةيلات و لا البرانس و لا الخفاف إلا أحد لا يجد نعاين فليلبس خفين و ليقطعهما أسفل من الكعبين و لا تلبسوا من الثياب  شيئا مسه زعفران أو ورس

“janganlah memakai gamis, surban, celana panjang, burnus, khuf kecuali orang yang tidak mendapatkan sandal maka boleh baginya memakai khuf dan ia potong (khuf itu) sampai di bawah mata kaki. Dan janganlah memakai dari pakaian apapun yang terkena za’faran ataupun wars (sejenis minyak wangi) “

Barang siapa yang melarang selain dari yang disebutkan harus menghadirkan dalil. Dan itu bisa dilihat dari jawaban Nabi Shalallahu ‘laihi wa salam  ketika menjelaskan apa yang dipakai seorang yang berihram dan berpindah kepada pakaian yang dilarang dipakai orang yang berihram. Ini menunjukkan bahwa pakaian yang ditinggalkan orang yang berihram dan dilarang untuk dipakai adalah terbatas. Dan penyebutannya lebih utama. Kemudian tetaplah yang tersisa dari selain itu hukumnya adalah boleh berlawanan dengan yang disebutkan dibolehkan dipakai maka ia lebih banyak dan tidak terbatas. Maka jika disebutkan akan menjadi lebih panjang.

Oleh karena itu, jika seorang yang berihram menggunakan sarung dengan pengikat untuk menahannya atau yang semisalnya maka tidak ada sisi yang melarangnya. Karena hal itu tidak berarti mengeluarkannya dari hakikat bahwa itu adalah sarung.

Dan ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Syafi'i dan Hambali.

Sarokhsi menyatakan dalam kitabnya Al Mabsuth  (4/126-127) : (dan telah menyebutkan Hisyam bin Muhammad – rahimahumallah Ta’ala- bahwasanya jika ia tidak menemukan sarung, maka ia robek celananya kecuali tempat mengikatnya. Maka tidak mengapa dalam keadaan itu memakainya sebagai pengganti sarung)

Dan berkata Al Kasani dalam kitabnya Badai’ As Shanai’ (2/184) : (dan demikian juga jika ia belum menemukan sarung dan hanya memiliki celana, maka tidak mengapa ia robek celanya kecuali tempat ikatannya dan ia bersarung dengannya; dan ketika ia merobek jahitannya maka ia berubah menjadi sarung)

Dan berkata Nawawi dalam kitabnya Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzab (7/270) : ( Telah disepakati dalam perkataan Imam Syafi'i dan dalam tulisan beliau serta pendapat ulama Madzhab, bahwasanya boleh mengikat sarung dan melilitkan di atasnya jahitan dan membuatnya seperti tempat sabuk dan dimasukkan di sela-selanya sabuk  dan yang semisalnya; karena hal ini dibuat untuk kemaslahatan sarung yang tidaklah bisa terikat dengan baik kecuali dengan cara seperti itu. Dan telah disampaikan secara jelas dalam tulisasn beliau dan para ulama madzhab di semua riwayatnya)

Dan mereka para ulama sudah pernah menyampaiakan tentang sifat sarung seperti yang anda tanyakan tadi dengan menjadikan sarung seperti tanurah. Dan Al Bajirmy menyatakan dalam kitab Hasyiyah (2/147) : (Dan guru kami mengatakan : perkataan seperti tempat pengait sabuk yaitu dengan melipat ujung sarung dan menjahitnya sehingga menjadi tempat sabuk di pakaiannya. Dan jahitan ini tidak berbahaya, karena ia jahitan yang tidak menutupi seluruh badan dengan jahitan ini. Tetapi ia hanya menjahit sarung saja)

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul Umdah  (3/34) : (Merobek celana  dengan menjadikannya sebagai sarung sehingga dibolehkannya memakainya adalah boleh sesuai ijma’ walaupun ada sarung)

Adapun ulama Malikiyah telah diriwayatkan dari mereka tentang larangan sabuk untuk sarung bagi orang yang melakukan ihram. Ibnu Abdil Barr menyatakan dalam kitabnya Al Kafi (1/153) : (Dan tidak mengikat bagian atas sarungnya dengan sabuk ataupun jahitan)

Sedangkan hukum menyambung dua ujung sarung dengan jahitan dan yang sejenisnya  ada pendapat yang secara jelas melarang  bagi orang yang berihram seperti ulama Malikiyah dan Syafi'iyah.

As Shawy menyatakan dalam Bulghatul Masalik  (2/75) : ((Tetapi (dan jika ) sarung itu berjahit (dengan ikatan atau kancing) seperti mengikat kedua ujung sarungnya, atau menjadikannya sebagai sarung atau mengikatnya dengan sabuk))

Dan dinyatakan dalam kitab  Hasyiyah  Qalyubi  wa ‘Amirah (2/167) : ((Dan tidak mengikat ujung dengan ujung yang lain dengan jahitan dan yang semisalnya. Jika ia lakukan itu maka ia berkewajiban membayar fidyah, karena ia masuk dalam makna berjahit dimana ia bisa menahan dengan sendirinya))

Menurut saya : bahwasanya dibolehkan jenis sarung seperti ini yang telah dijahit kedua ujungnya dan dipasang untuknya pengikat agar bisa menahannya. Karena ini semua tidak merubah sifat dari sebuah sarung . hal ini dikarenakan ada sejumlah ulama fikih dan hadis yang mendefinisikan sarung itu adalah segala sesuatu yang diikat tengahnya. Dan ini adalah kriteria yang benar dalam jenis seperti ini dari sarung. Adapun argumen orang yang berpendapat dilarangnya jenis seperti ini adalah : Karena dengan jahitan seperti ini maka sarung sudah berubah menjadi sesuatu yang berjahit.

Dan bisa dijawab bahwa larangan bagi orang yang berihram memakai sesuatu yang berjahit belum ada satupun perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu pula tidak satupun dari para sahabatnya. Begitu pula ketika para fuqaha membahasnya  tidak dimaksud dengan larangan memakai pakaian berjahit  berarti larangan semua yang ada di dalamnya jahitan. Bahkan tidak ada perbedaan di antara mereka hukum dibolehkannya memakai selendang dan sarung yang ditambal. Sebagaimana mereka tidak membatasi sesuatu yang dilarang dipakai seorang yang sedang berihram dari semua yang dijahit  dari pakaian gamis dan yang semisalnya. Tetapi mereka menyatakan bahwa dilarang semua yang bisa memisahkan semua bagian tubuh manusia ketika dipakai baik dijahit maupun tidak.

Dan yang juga bisa menjadi jawaban adalah jenis sarung seperti ini tidak masuk dalam larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  untuk dipakai orang yang berihram yang disebutkan seperti gamis, burnus dan celana. Maka tidak ada sisi untuk memasukannya di dalamnya. Dan guru kami Syaikh Muhammad bin Ustaimin Rahimahullah telah memilih pendapat bolehnya memakai sarung jenis ini baik dalam perkataan maupun pebuatan.

Dan dalam kesempatan penutup, saya mengingatkan saudara-saudaraku agar tidak menjadikan masalah ini sebagai bahan debat kusir di antara para jamaah haji yang bisa menjadikan mereka terjatuh kepada yang dilarang dari perdebatan sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala :

الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فلا رفث و لا فسوق  ولا جدال في الحج

“(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia berkata jorok (rafast) berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji” Q.S. Al Baqarah :197

Dan semoga termasuk dari pemahaman seseorang adalah meninggalkan jenis sarung seperti ini jika ia memilki kemampuan (untuk membelinya) jika dikhawatirkan akan menjatuhkannya dalam pertengkaran dan pertikaian.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Saudaramu

Prof. Dr. Kholid Al Mosleh

17/10/1425 H

 



×

Apakah Anda benar-benar ingin menghapus item yang sudah Anda kunjungi?

Ya, Hapus