Puasa Hari Asyura dan Keutamaannya
صوم يوم عاشوراء وشيء من فضائله
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Aku bershalawat kepada utusan yang menjadi rahmat bagi seluruh alam Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, kepada keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba'du …
Pertama-tama, hal yang berkaitan tentang keutamaan puasa hari ayura (10 Muharam) adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
«إني لأحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله»
"Sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lalu."
Ini merupakan sebuah keutamaan yang agung, pahala yang besar dari sebuah amal yang ringan yakni hanya dengan berpuasa beberapa jam namun mendapatkan gugurnya dosa setahun penuh; yaitu berpuasa sehari di musim ini yang hanya dalam waktu beberapa jam dan sedikit kepayahan. Ini adalah sebuah keutamaan dan sebuah kebaikan di mana hendaknya setiap muslim bersegera melaksanakannya dan memohon balasan di sisi Allah Azza waJalla.
Keutamaan ini bisa diraih dengan berpuasa pada hari asyura (10 Muharam-saja) menurut pendapat yang benar dari ulama. Adapun menurut ulama yang lain, bahwasanya dibolehkan mengikutkannya dengan puasa pada hari yang lain; dan sebagian ulama yang lain memandang makruh apabila berpuasa pada tanggal 10 muharam saja. Yang benar adalah menyendirikan puasa asyura (10 Muharam saja) tidaklah tercela, bahkan merupakan sunnah, karena demikianlah hari puasa yang dimaksud. Sesungguhnya ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sampai di kota Madinah menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa, dan dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga berpuasa sebelum diangkat menjadi Nabi karena hari itu merupakan hari yang diagungkan orang-orang Quraisy yakni hari di mana Ka'bah dipasang kain Kiswah lalu mereka berpuasa dan Nabi-pun berpuasa. Lalu tatkala beliau tiba di Madinah dan melihat orang-orang Yahudi berpuasa, maka beliaupun bertanya kepada mereka seraya berkata: "Hari apa ini?!" Merekapun menjawab: "Ini adalah hari di mana Allah Ta'ala menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari musuhnya Fir'aun, lalu Musa berpuasa". Maka Nabi-pun berkata: أنا أحقُّ بموسى "Aku lebih berhak atas Musa dari pada kalian" . Dan dalam riwayat yang lain أنا أولى بموسى منكم "Aku lebih berhak atas Musa dari kalian semua". Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya berpuasa.
Dalam puasa tersebut terdapat keutamaan yang hendaknya seorang mukmin bersegera melaksanakannya. Sebagaimana para sahabat radhiyallahu 'anhum mendapati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat menganjurkan dan mendorong mereka agar berpuasa pada hari tersebut. Lalu mereka berpuasa dan mengajak anak-anak mereka berpuasa sebagaimana terdapat dalam Shahih al-Bukhari dari jalan Khalid bin Dzakwan dari ar-Rabi' binti Mu'awwidz bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang utusan kepada kaum Anshar dan memerintahkan supaya berpuasa Asyura; Lalu ia berkata: Lalu kamipun berpuasa dan mengajak anak-anak kami berpuasa serta membuatkan mereka mainan dari bulu. Apabila salah satu dari mereka menangis karena meminta makanan, maka kami berikan mainan tersebut, seperti itulah sampai datang waktu berbuka. Hal ini menunjukkan tingginya perhatian mereka, di mana puasa tersebut tidak hanya dikerjakan orang dewasa saja, namun anak-anakpun turut berpuasa.
Oleh karena itulah aku mengajak diriku dan saudara-saudaraku serta orang-orang bertanggung jawab di rumah masing-masing, supaya mendorong anak-anak mereka berpuasa meskipun mereka belum akil baligh. sebagaimana dalam sebagian riwayat: walaupun mereka belum bisa membedakan baik dan buruk. Demikian pula yang disebutkan al-Hafidz Ibnu Hajar: bahwasanya dahulu mereka juga mengajak anak-anak yang masih menyusu. Namun riwayat ini lemah. Adapun riwayat yang mengatakan bahwa mengajak anak-anak yang telah mampu berpuasa yang sebagaimana hadis Rabi'ah radhiyallahu 'anha, terdapat dalam shahih al-Bukhari.
Oleh karena itu hendaknya kita mendorong serta menumbuhkan kecintaan mereka bukan karena paksaan yang merupakan Sunnah namun karena dorongan atas amal shalih, dengan kemudahan berupa waktu siang yang pendek dan udara dingin.
Adapun yang berkaitan dengan khilaf-dan bukan waktunya dibahas disini-tentang Asyura, apakah ia senin ataukah selasa? Di sini terdapat perbedaan pendapat yang kuat diantara pakar dan ulama. Bahkan ahli falak dan yang mengikuti perkembangannya berselisih apakah dia hari senin ataukah selasa. Yang pasti untuk negara kita (Saudi), Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa ia jatuh pada hari senin disebabkan tidak nampaknya bulan pada malam sabtu; dengan demikian awal bulan jatuh pada hari ahad, yang selanjutnya hari Asyura jatuh pada hari selasa besok, insya Allah Ta'ala.
Dan saya sampaikan: dalam masalah yang diperselisihkan bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, dan perbedaan pendapat yang ada dalam masyarakat kembali kepada perkataan para ulama, dan hendaknya seseorang tidak mencela orang lain sebelum jelas kebenarannya. Hal itu karena semuanya menuju tujuan yang sama yaitu kebenaran. Adapun kebenaran tidak mengharuskan adanya kesepakatan seluruh manusia dalam permasalahan tertentu, dan untuk mendapatkan sesuatu atau amalan tertentu. Hal itu dikarenakan adakalanya terjadi perbedaan dalam berijtihad dan berpendapat. Dalam hal ini, maka siapa yang mengatakan bahwasanya jatuh pada hari senin sebelum adanya penjelasan dari lembaga khusus tentunya mereka memiliki argumen, dan siapa yang mengatakan jatuh pada hari selasa tentunya mereka juga memiliki argument. Akan tetapi setelah Mahkamah Agung menyampaikan keterangan, maka selesailah permasalahan, dan semuanya menjadi jelas dengan adanya keterangan dari lembaga yang berwenang. Namun sebelumnya sebagian mereka bersikeras dan berkata: "mengapa”? Disinilah engkau akan dapati Tarik-menarik dan permusuhan dalam banyak hal. Dan ini merupakan contoh bagi kita bagaimana menyikapi perbedaan, kadang kala jika salah seorang dari kita memiliki pendapat, maka ia memaksakan pendapatnya pada dirinya, dan ini adalah sesuatu yang alami dan ia benar dalam hal itu. Namun, jika ia memaksakan pada orang lain maka hal ini menyelisihi jalan yang benar yakni jalannya para ulama. Karena tidak pantas bagi seseorang memaksakan ijtihadnya kepada orang lain dalam masalah yang bersifat ijtihadi. Bahkan seorang mujtahid yang membahas sesuatu dan mencapai hasil tertentu tidak boleh baginya memaksa manusia agar sependapat dengannya; lalu bagaimana halnya dengan orang yang hanya mengikuti suatu pendapat yang ia ambil dari pendapat salah seorang mujtahid memaksakan manusia agar sependapat dengannya?!
Para sahabat berbeda pendapat di masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak memaksakan orang yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah yang terdapat khilaf yang bisa diterima. Nabi melarang perpecahan dan mencelanya sebagaimana yang terjadi dalam beberapa kesempatan. Namun beliau mengizinkan dalam beberapa kesempatan yang lain. Sebagaimana sabda beliau setelah perang Ahzab dan perginya tentara gabungan kaum kafir: «لا يصلين أحدكم العصر إلا في بني قريظة»
"Janganlah sekali-kali kalian shalat ashar melainkan setelah sampai pada Bani Quraidhah"
Maka para sahabat berbeda pendapat dalam memahami perkataan Nabi tersebut. Apakah yang di maksud Nabi shallallahu 'alaihi wasallam supaya para sahabat bersegera dalam berjalan dan jangan sampai terlambat menuju Bani Quraidhah, ataukah yang dimaksud adalah benar-benar jangan melaksanakan shalat ashar melainkan jika telah sampai pada Bani Quraidhah walaupun matahari telah terbenam? Mereka terpecah dalam dua pendapat ini, sehingga di antara mereka ada yang melaksanakan shalat ketika telah masuk waktu shalat dan khawatir keluar dari waktunya. Dan di antara mereka ada yang mengakhirkannya dan tidak melaksanakan shalat melainkan setelah sampai di Bani Quraidhah. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengetahui perbedaan pendapat tersebut. Dan apakah beliau mencela salah satu dari mereka?! Jawabnya adalah 'tidak', bahkan tidak ditemukan beliau mengatakan : kelompok yang melakukan ini benar, atau kelompok yang melakukan itu benar. Adapun apa yang terjadi tidak terdapat penjelasan di dalamnya.
Di sini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa apa yang terkandung dalam lafadz tersebut masuk dalam masalah ijtihad dan memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Hendaknya seseorang tidak memaksakannya pada orang lain, dan tidak membawa masyarakat pada satu pendapat, apalagi meninggalkan jarak yang jauh terhadap mereka yang berbeda dengannya selama kita berharap kebenaran, walaupun kita berbeda hasilnya, hal itu tidaklah masalah.
Mereka yang berbeda pendapat dalam hal shalat tersebut terjadi pada zaman Nabi dan semua berharap kebenaran, yakni mereka yang shalat sebelum sampai (di Bani Quraidhah) dan mereka yang shalat setelah sampai, semua mengharapkan kebenaran. Namun mereka berbeda pendapat dalam mencapai kebenaran tersebut, kebenaran atas apa yang mereka harapkan. Aplikasi atas anjuran Nabi dalam sabda beliau «لا يصلين أحدكم العصر إلا في بني قريظة»
Demikian pula banyak yang berbeda pendapat dalam penentuan awal bulan. Salah satu kelompok berkata demikian, dan kelompok yang lain berkata demikian, dan tidak akan berhenti –dan setelah berhenti maka selesailah masalah-semuanya menginginkan kebenaran. Dan semuanya berharap keutamaan hari ini dengan puasa, walaupun mereka berbeda pendapat dalam menentukan hari ini. Kondisi perbedaan pendapat dalam penentuan hari ini juga tidak merusak persaudaraan sama sekali.