Apa hukum mewakilkan penyembelihan hewan kurban di negara miskin dan terkena musibah ?
ما حكم التوكيل بذبح الأضحية في البلدان الفقيرة والمنكوبة مثل سوريا
Pertanyaan
Apa hukum mewakilkan penyembelihan hewan kurban di negara miskin dan terkena musibah ?
ما حكم التوكيل بذبح الأضحية في البلدان الفقيرة والمنكوبة مثل سوريا
Menjawab
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Amma ba'du.
Menyembelih kurban adalah ibadah sunah Nabi yang tetap. Telah banyak riwayat dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam dalam pelaksanaannya. Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam pernah berkurban dengan domba yang gemuk dan bertanduk. Dan Allah telah menjadkannya dari syiar agamaNya. Allah berfirman :
﴿ وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ﴾
"Dan hewan kurban yang telah kami jadikan untuk kalian termasuk dari syiar-syiar Allah, maka untuk kalian di dalamnya ada kebaikan". Q.S. Al Hajj : 36
Dan makna al-Budn adalah semua hewan kurban yang ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Dan yang masuk di dalamnya adalah ibadah penyembelihan hewan kurban.
Dan dalam petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam tentang penyembelihan hewan kurban dengan tangan beliau sendiri. Ia lakukan untuk dirinya dan keluarganya. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan hadis dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :
Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam menyembelih kurban dengan dua domba yang gemuk dan bertanduk. Beliau menyembelih dengan kedua tangannya sendiri. Beliau membaca bismillah dan mengucapkan takbir dengan meletakkan kakinya di leherkambing sembelihannya.H.R. Bukhari (5565) dan Muslim (1966)
Orang-orang terdahulu memuliakan bulan Haji dengan menyembelih kurban sebagai penghormatan terhadap syiar-syiar agama Allah. Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Umamah bin Sahl bahwasanya ia berkata : (Dulu kami menggemukkan binatang kurban dengan penggemukan. Dan kaum muslimin pada saat itu juga menggemukannya) H.R. Bukhari (6653)
Dan maksud dari apa yang disyariatkan Allah Ta’ala dalam meyembelih kurban bertujuan mengagungkan syiar-siar agama Allah Ta’ala dengan menggemukannya, memilih yang terbaik darinya dan menyembelihnya, menyebut nama Allah pada saat menyembelihnya, menyaksikannya dan memakan dagingnya, memberi makan dan menghadiahkannya. Maka sudah sepantasnya menjaga semua maksud dari ibadah ini semua. Bersegera dalam mendapatkan yang mungkin dari ibadah itu. Allah Ta’ala berfirman :
﴿لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ﴾
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” Q.S. Al Hajj : 37
Dan pertanyaan yang banyak muncul belakangan adalah : Hukum mengirim binatang kurban ke negara yang lebih membutuhkan dan sangat miskin.
Dalam masalah ini para ulama kontemporer memiliki dua pendapat, yaitu :
Pendapat pertama :
Hal itu dilarang. Ini didasarkan, bahwasanya mengirim kurban keluar mengakibatkan hilangnya maslahat yang banyak yang merupakan tujuan dari ibadah kurban. Dan terjadinya kerusakan yang banyak. Dan seharusnya tujuan memberi makan kepada fakir miskin dan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan tidak mengalahkan maksud dan tujuan disyariatkannya ibadah kurban.
Dan dari sekian banyak ulama yang jelas berpendapat dengan pendapat ini adalah guru kami Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin. Dan beliau memiliki ceramah yang berisi penyebutan tentang hal yang bisa hilang dari maslahatnya, dan akibat buruk dari pengiriman ke luar hewan kurban. dan beliau berkata dalam ceramahnya : (Dan tidak sepatutnya secara mutlak untuk mengajak masyarakat untuk menyumbangkan uang mereka dengan maksud untuk berkurban di negara lain).
Pendapat Kedua :
Bolehnya perbuatan ini. Dengan alasan bahwa efek dari pengiriman hewan kurabn terdapat maslahat seperti menangani kebutuhan orang yang kesusahan pangan. Dan Allah telah memberikan kepada mereka bagian dari kurban itu, dimana Allah telah firmankan ketika menjelaskan pembagian sembelihan kurban :
﴿ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ﴾
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta”Q.S. Al Hajj : 36
Ada pendapat yang mengatakan pembagian untuk mereka setengah, ada yang mengatakan sepertiga dalam pendapat yang lain. Dan hak orang fakir miskin dalam pembagian kurban bisa sepertiga atau setengah. Dan perintah untuk memakannya merupakan ijin saja (bukan kewajiban) untuk menolak anggapan dan keyakinan sebgaian orang tentang tidak diperbolehkannya memakan sembelihan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu jumhur ulama berpendapat sunahnya makan dari sembelihan.
Makan binatang yang disembelih hukumnya adalah sunah menurut kesepakatan para ulama. Walaupun memperhatikan sunah makan sembelihan bagi pemberi kurban dari binatang yang disembelih tidak menjadikan justru menghilangkan perhatian apa yang terjadi dari kesusahan seperti kelaparan dan yang sejenisnya. Maka sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam telah juga memperhatikan hal tersebut dengan melarang menyimpan daging sembelihan kurban lebih dari tiga hari dan melarang mereka untuk menimbun daging sebagai penjagaan dari kelaparan yang melanda masyarakat. Dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam telah menjelaskan alasan dilarangnya perbuatan tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Shahih Muslim, hadis dari ‘Amrah ia berkata : saya mendengar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : Daffa yaitu kelaparan masyarakat yang tinggal di pedalaman ketika hari raya kurban di zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Simpanlah untuk tiga hari, kemudian sedekahkanlah dengan yang tersisa” Setelah itu para sahabat berkata : (Wahai Rasulullah, masyarakat mengambil bejana-bejana untuk binatang kurban mereka dan ditampung di dalamnya lemak). Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bertanya : “ Mengapa ?” Mereka menjawab : (engkau telah melarang untuk makan daging kurban setelah tiga hari), maka beliau berkata : “Sesungguhnya aku larang kalian karena adanya kelaparan yang melanda. Maka makanlah darinya dan simpan dan bersedekahlah” H.R. Muslim (1971)
Dan dalam kitab Shahih Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata ketika mengomentari alasan pelarangan : (Tidaklah apa yang beliau perintakan kecuali di tahun di mana masyarakat mengalami kelaparan, kemudian beliau menginginkan agar orang yang kaya memberi makan kepada yang miskin). H.R. Bukhari (5423)
Dan hukum asal ini menjelaskan bahwa menutup kebutuhan orang fakir miskin bisa mengalahkan hukum dibolehkannya menahan dan menyimpan daging sembelihan lebih dari tiga hari untuk dimakan. Dan Imam Qurthubi Rahimahullah mengambil pendapat ini dengan pernyataan beliau : (Seandainya ia datang kepada penduduk sebuah negeri, dan masyarakat membutuhkan ketika hari raya kurban, dan tidak bisa menutup kebutuhan kemiskinannya kecuali dengan sembelihannya, maka jelaslah bagi mereka untuk tidak menyimpan daging lebih dari tiga hari) Tafsir al-Qurthubi 12/48.
Dan Ibnu Hajar juga mengomentari dalam batasan tiga hari dalam pernyataannya : (dan pembatasan tiga hari menyesuaikan apa yang terjadi pada saat itu. Dan jika tidak, maka ketika tidak bisa terpenuhinya kebutuhan kecuali dengan menghilangkan semua (tiga hari untuk menyimpan) wajib ketika dihilangkan batasan (tiga hari) tidak boleh menyimpan (daging) meskipun hanya satu malam saja) (Fathul Bari 10/27)
Dan ulama yang jelas mendukung pendapat bolehnya mengirim kurban ke negara miskin dan membutuhkan adalah guru kami Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dimana beliau mengatakan ketika menjawab pertanyaan seperti ini : (Dan tidak mengapa, baik ia menyembelih untuk keluarganya atau di luar. Tetapi untuk keluarganya lebih utama. Jika ia berkurban di rumahnya dan memakannya serta juga membagikannya untuk tetangga sekitarnya maka itu lebih utama karena mencontoh perbuatan Nabo Shalallahu ‘alaihi wa salam. Kemudian melanjutkan perkataannya : (Dan jika ia menyukai untuk menyembelih sembelihan yang lain di tempat orang miskin di negara lain, maka ia memperoleh pahala dari itu. Dan ini termasuk sedekah) . Fatawa Nur ‘ala Darbi 18/206.
Dan beliau Rahimahullah menyatakan bolehnya. Dan menjelaskan bahwa yang lebih utama kurban dilaksanakan di negara pemberi kurban dan bersama dengan keluarganya. Dan mengirim sembelihan yang lain untuk para fakir miskin untuk menutup kebutuhan mereka.
Dan jawaban yang paling dekat menurut saya adalah bahwasanya ibadah kurban pada dasarnya dilaksanakan di negeri pemberi kurban. Hal ini karena mengamalkan sunah Nabi dan sebagai bentuk memperlihatkan syiar agama. Tetapi jika ada kebutuhan atau karena darurat untuk mengirimkannya ke negara miskin, atau ada maslahat yang lebih besar maka tidak mengapa. Bahkan bisa jadi lebih disukai karena adanya kelaparan dan keadaan darurat dan kebutuhan yang sangat mendesak walupun pemberi kurban kehilangan kesempatan mendapatkan pahala langsung dari sembelihannya, menyaksikannya, mengucapkan nama Allah dan berdoa ketika menyembelihnya, memakan dan memberi hadiah dari dagingnya bisa tergantikan lebih banyak pahala dari apa yang didapatkannya dari menolong karena darurat orang yang terpaksa, dan mencukupi kebutuhan orang yang membutuhkan serta mendapatkan kemaslahatan orang miskin dari kaum muslimin.
Dan dari bentuk yang dibolehkan adalah, ketika keluarganya menyembelih kurban lebih dari satu ekor hewan kurban, ataupun terkumpul di rumah tersebut banyak hewan kurban yang berasal dari wasiat dan yang sejenisnya, maka sebagai bentuk mengagungkan syiar Allah dengan menampakkannya bisa dengan hanya menyembelih satu ekor saja hewan kurban dari seorang dari anggota keluarga tersebut. Dan ketika ada sisa hewan kurban lainnya, maka dikirim untuk menutupi kebutuhan orang yang membutuhkan dari kaum muslimin.
Wallahu A’lam.
Saudaramu
Prof. Dr. Kholid Al Mosleh
5/12/1434 H
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Amma ba'du.
Menyembelih kurban adalah ibadah sunah Nabi yang tetap. Telah banyak riwayat dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam dalam pelaksanaannya. Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam pernah berkurban dengan domba yang gemuk dan bertanduk. Dan Allah telah menjadkannya dari syiar agamaNya. Allah berfirman :
﴿ وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ﴾
"Dan hewan kurban yang telah kami jadikan untuk kalian termasuk dari syiar-syiar Allah, maka untuk kalian di dalamnya ada kebaikan". Q.S. Al Hajj : 36
Dan makna al-Budn adalah semua hewan kurban yang ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Dan yang masuk di dalamnya adalah ibadah penyembelihan hewan kurban.
Dan dalam petunjuk Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam tentang penyembelihan hewan kurban dengan tangan beliau sendiri. Ia lakukan untuk dirinya dan keluarganya. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan hadis dari Anas Radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :
Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam menyembelih kurban dengan dua domba yang gemuk dan bertanduk. Beliau menyembelih dengan kedua tangannya sendiri. Beliau membaca bismillah dan mengucapkan takbir dengan meletakkan kakinya di leherkambing sembelihannya.H.R. Bukhari (5565) dan Muslim (1966)
Orang-orang terdahulu memuliakan bulan Haji dengan menyembelih kurban sebagai penghormatan terhadap syiar-syiar agama Allah. Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Umamah bin Sahl bahwasanya ia berkata : (Dulu kami menggemukkan binatang kurban dengan penggemukan. Dan kaum muslimin pada saat itu juga menggemukannya) H.R. Bukhari (6653)
Dan maksud dari apa yang disyariatkan Allah Ta’ala dalam meyembelih kurban bertujuan mengagungkan syiar-siar agama Allah Ta’ala dengan menggemukannya, memilih yang terbaik darinya dan menyembelihnya, menyebut nama Allah pada saat menyembelihnya, menyaksikannya dan memakan dagingnya, memberi makan dan menghadiahkannya. Maka sudah sepantasnya menjaga semua maksud dari ibadah ini semua. Bersegera dalam mendapatkan yang mungkin dari ibadah itu. Allah Ta’ala berfirman :
﴿لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ﴾
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” Q.S. Al Hajj : 37
Dan pertanyaan yang banyak muncul belakangan adalah : Hukum mengirim binatang kurban ke negara yang lebih membutuhkan dan sangat miskin.
Dalam masalah ini para ulama kontemporer memiliki dua pendapat, yaitu :
Pendapat pertama :
Hal itu dilarang. Ini didasarkan, bahwasanya mengirim kurban keluar mengakibatkan hilangnya maslahat yang banyak yang merupakan tujuan dari ibadah kurban. Dan terjadinya kerusakan yang banyak. Dan seharusnya tujuan memberi makan kepada fakir miskin dan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan tidak mengalahkan maksud dan tujuan disyariatkannya ibadah kurban.
Dan dari sekian banyak ulama yang jelas berpendapat dengan pendapat ini adalah guru kami Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin. Dan beliau memiliki ceramah yang berisi penyebutan tentang hal yang bisa hilang dari maslahatnya, dan akibat buruk dari pengiriman ke luar hewan kurban. dan beliau berkata dalam ceramahnya : (Dan tidak sepatutnya secara mutlak untuk mengajak masyarakat untuk menyumbangkan uang mereka dengan maksud untuk berkurban di negara lain).
Pendapat Kedua :
Bolehnya perbuatan ini. Dengan alasan bahwa efek dari pengiriman hewan kurabn terdapat maslahat seperti menangani kebutuhan orang yang kesusahan pangan. Dan Allah telah memberikan kepada mereka bagian dari kurban itu, dimana Allah telah firmankan ketika menjelaskan pembagian sembelihan kurban :
﴿ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ﴾
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta”Q.S. Al Hajj : 36
Ada pendapat yang mengatakan pembagian untuk mereka setengah, ada yang mengatakan sepertiga dalam pendapat yang lain. Dan hak orang fakir miskin dalam pembagian kurban bisa sepertiga atau setengah. Dan perintah untuk memakannya merupakan ijin saja (bukan kewajiban) untuk menolak anggapan dan keyakinan sebgaian orang tentang tidak diperbolehkannya memakan sembelihan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu jumhur ulama berpendapat sunahnya makan dari sembelihan.
Makan binatang yang disembelih hukumnya adalah sunah menurut kesepakatan para ulama. Walaupun memperhatikan sunah makan sembelihan bagi pemberi kurban dari binatang yang disembelih tidak menjadikan justru menghilangkan perhatian apa yang terjadi dari kesusahan seperti kelaparan dan yang sejenisnya. Maka sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam telah juga memperhatikan hal tersebut dengan melarang menyimpan daging sembelihan kurban lebih dari tiga hari dan melarang mereka untuk menimbun daging sebagai penjagaan dari kelaparan yang melanda masyarakat. Dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam telah menjelaskan alasan dilarangnya perbuatan tersebut sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Shahih Muslim, hadis dari ‘Amrah ia berkata : saya mendengar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : Daffa yaitu kelaparan masyarakat yang tinggal di pedalaman ketika hari raya kurban di zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Simpanlah untuk tiga hari, kemudian sedekahkanlah dengan yang tersisa” Setelah itu para sahabat berkata : (Wahai Rasulullah, masyarakat mengambil bejana-bejana untuk binatang kurban mereka dan ditampung di dalamnya lemak). Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bertanya : “ Mengapa ?” Mereka menjawab : (engkau telah melarang untuk makan daging kurban setelah tiga hari), maka beliau berkata : “Sesungguhnya aku larang kalian karena adanya kelaparan yang melanda. Maka makanlah darinya dan simpan dan bersedekahlah” H.R. Muslim (1971)
Dan dalam kitab Shahih Bukhari dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata ketika mengomentari alasan pelarangan : (Tidaklah apa yang beliau perintakan kecuali di tahun di mana masyarakat mengalami kelaparan, kemudian beliau menginginkan agar orang yang kaya memberi makan kepada yang miskin). H.R. Bukhari (5423)
Dan hukum asal ini menjelaskan bahwa menutup kebutuhan orang fakir miskin bisa mengalahkan hukum dibolehkannya menahan dan menyimpan daging sembelihan lebih dari tiga hari untuk dimakan. Dan Imam Qurthubi Rahimahullah mengambil pendapat ini dengan pernyataan beliau : (Seandainya ia datang kepada penduduk sebuah negeri, dan masyarakat membutuhkan ketika hari raya kurban, dan tidak bisa menutup kebutuhan kemiskinannya kecuali dengan sembelihannya, maka jelaslah bagi mereka untuk tidak menyimpan daging lebih dari tiga hari) Tafsir al-Qurthubi 12/48.
Dan Ibnu Hajar juga mengomentari dalam batasan tiga hari dalam pernyataannya : (dan pembatasan tiga hari menyesuaikan apa yang terjadi pada saat itu. Dan jika tidak, maka ketika tidak bisa terpenuhinya kebutuhan kecuali dengan menghilangkan semua (tiga hari untuk menyimpan) wajib ketika dihilangkan batasan (tiga hari) tidak boleh menyimpan (daging) meskipun hanya satu malam saja) (Fathul Bari 10/27)
Dan ulama yang jelas mendukung pendapat bolehnya mengirim kurban ke negara miskin dan membutuhkan adalah guru kami Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dimana beliau mengatakan ketika menjawab pertanyaan seperti ini : (Dan tidak mengapa, baik ia menyembelih untuk keluarganya atau di luar. Tetapi untuk keluarganya lebih utama. Jika ia berkurban di rumahnya dan memakannya serta juga membagikannya untuk tetangga sekitarnya maka itu lebih utama karena mencontoh perbuatan Nabo Shalallahu ‘alaihi wa salam. Kemudian melanjutkan perkataannya : (Dan jika ia menyukai untuk menyembelih sembelihan yang lain di tempat orang miskin di negara lain, maka ia memperoleh pahala dari itu. Dan ini termasuk sedekah) . Fatawa Nur ‘ala Darbi 18/206.
Dan beliau Rahimahullah menyatakan bolehnya. Dan menjelaskan bahwa yang lebih utama kurban dilaksanakan di negara pemberi kurban dan bersama dengan keluarganya. Dan mengirim sembelihan yang lain untuk para fakir miskin untuk menutup kebutuhan mereka.
Dan jawaban yang paling dekat menurut saya adalah bahwasanya ibadah kurban pada dasarnya dilaksanakan di negeri pemberi kurban. Hal ini karena mengamalkan sunah Nabi dan sebagai bentuk memperlihatkan syiar agama. Tetapi jika ada kebutuhan atau karena darurat untuk mengirimkannya ke negara miskin, atau ada maslahat yang lebih besar maka tidak mengapa. Bahkan bisa jadi lebih disukai karena adanya kelaparan dan keadaan darurat dan kebutuhan yang sangat mendesak walupun pemberi kurban kehilangan kesempatan mendapatkan pahala langsung dari sembelihannya, menyaksikannya, mengucapkan nama Allah dan berdoa ketika menyembelihnya, memakan dan memberi hadiah dari dagingnya bisa tergantikan lebih banyak pahala dari apa yang didapatkannya dari menolong karena darurat orang yang terpaksa, dan mencukupi kebutuhan orang yang membutuhkan serta mendapatkan kemaslahatan orang miskin dari kaum muslimin.
Dan dari bentuk yang dibolehkan adalah, ketika keluarganya menyembelih kurban lebih dari satu ekor hewan kurban, ataupun terkumpul di rumah tersebut banyak hewan kurban yang berasal dari wasiat dan yang sejenisnya, maka sebagai bentuk mengagungkan syiar Allah dengan menampakkannya bisa dengan hanya menyembelih satu ekor saja hewan kurban dari seorang dari anggota keluarga tersebut. Dan ketika ada sisa hewan kurban lainnya, maka dikirim untuk menutupi kebutuhan orang yang membutuhkan dari kaum muslimin.
Wallahu A’lam.
Saudaramu
Prof. Dr. Kholid Al Mosleh
5/12/1434 H